KATA PENGANTAR
Puji
syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya penyusunan
makalah ini. makalah ini disusun dengan tema “Analisis pengelolahan atau
penugasan batas daerah pasca dengan Undang – Undang nomor 22 tahun 1999”. Pada
satu sisi Negara Indonesia merupakan Negara yang dikelilingi oleh Negara lain
yang saling berbatasan baik darat maupun laut.
Melalui
penelitian ini diharapkan dapat mengetahui mengenai pengelolahan terhadap batas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Negara tetangga. Disamping
itu, penelitian ini juga untuk mengetahui konsep dari daerah perbatasan
berserta konflik perbatasan yang kerap terjadi di Indonesia.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak kekurangan , oleh karena itu saran
dan kritik , sangat diharapkan untuk menambah wawasan penulis.
Jakarta , 10 Februari 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 3
1.1 Latar belakang................................................................................................................
3
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................
3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 5
2.1 Konsep Perbatasan Wilayah...........................................................................................
5
2.2 Penyelesaian Konflik Batas Daerah...............................................................................
6
2.3 Konflik Mengenai Batas Daerah di Era Otonomi Pasca UU No.22 Tahun1999...........
11
2.4 Penyelesaian Sengketa...................................................................................................
13
BAB IV PENUTUP ................................................................................................................... 16
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Dalam syarat berdirinya negara ada empat hal yang harus
dipenuhi suatu negara tersebut salah satunya adalah Wilayah. Wilayah merupakan
salah satu unsur utama dalam suatu negara, di samping rakyat dan pemerintahan.
Wilayah dalam suatu negara perlu ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
yang jelas. Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercantum pasal mengenai
“Wilayah Negara Republik
Indonesia”.
Wilayah
memang sangat penting bagi tegak nya negara,
karena wilayah mempunyai potensi yang
handal untuk dikembangkan. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3
wilayahnya berupa lautan. Pada masa orde baru dan sampai saat ini masalah perbatasan wilayah
memang hal yang tidak habis untuk dibicarakan, saat ini mulai muncul
lagi isu-isu tentang kewilayahan di Indonesia. Seperti masalah
penjualan pulau, pengelolaan pulau oleh asing sampai tersebut pulau Sipa dan
Ligitan oleh Negara Malaysia.
Seperti
yang kita tahu bahwa Wilayah
perbatasan merupakan kawasan tertentu yang mempunyai dampak penting dan memiliki peran strategis
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertahanan
kesejahteraan social ekonomi masyarakat di dalam ataupun diluar wilayah memiliki
keterkaitan yang kuat dengan kegiatan diwilayah lain yang berbatasan baik dalam
lingkup nasional maupun antar Negara dan pastinya mempunyai dampak politis dan
dampak terhadap fungsi keamanan dan pertahanan nasional. Oleh karena itu maka pengembangan wilayah
perbatasan Indonesia merupakan prioritas penting terhadap pembangunan nasional untuk menjamin keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang permasalahan diatas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan
tentang konsep Perbatasan Wilayah
2. Konflik batas daerah yang terjadi di
Indonesia pasca UU No.22 Tahun 1999
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui
penjelasan mengenai konsep Perbatasan Wilayah
2. Untuk mengetahui konflik perbatasan yang
terjadi di Indonesia dan penyelesaiannya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Perbatasan Wilayah
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer,
memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat
(kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia
berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan
Timor Leste. Perbatasan darat indonesia tersebar di tiga pulau, empat provinsi
dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang
berbeda-beda. Demikian pula negara tentangga yang berbatasannya baik bila
ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan
wilayah laut indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Timor Leste dan Papua
Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar
yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya
masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai
kecenderungan dengan negara tengga.
Wilayah
adalah Suatu unit geografis yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang
bagian-bagian nya saling tergantung secara internal. Sedangkan, perbatasan
suatu wilayah merupakan manisfestasi utama kedaulatan wilayah atau daerah,
dimana perbatasan mempunyai peranan penting dalam penetuan batas wilayah
kedaulatan, pemanfaatan sumberdaya dan kepastian hukum bagi penyelenggaraan
aktifitas kepemerintahan.
Menurut
para ahli hukum internasional seperti Green NA Maryan, Shaw Malcolm, JG Strake
dan Burhan Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara
berupa suatu garis imaginer yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah
negara lain darat, laut, maupun negara yang dapat dikualifikasi dalam
terminologi “Border Zone” (Zona Perbatasan) maupun “Customs Free Zone” (Zona
Bebas Kepabeanan).
Pada masa orde lama dan ore baru terbentuknya
instansi yang dialokasikan untuk membantu pengelolahan terhadp perbatasan
daerah.Diantaranya Permendagri No.2 Tahun 2011 Tentang Pembentukan BPP di Daerah dan dibentuk pula Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP) berdasarkan peraturan presiden No.12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan merupakan komitmen pemerintah yang kuat untuk membangun
wilayah perbatasan. BNPP diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang ada
diwilyah-wilayah perbatasan agar masyarakat diwilayah tersebut dapat mengikuti
pembangunan.
Hingga beranjak menuju masa reformasi Indonesia diakui sebagai negara kepulauan, dan konsekuensinya indonesia
harus segera menyusun peraturan perundang-undangan dalam UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah memasukan pengelolaan wilayah laut dengan tujuan agar
daerah mempunyai tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan
pengembangan potensi sumber daya kelautan diwilayahnya masing-masing. Dengan
kewenangan daerah untuk mengelola wilayah laut sampai batas yang ditentukan,
daerah mempunyai peluang lebih besar meningkatkan perekonomian masyarakat
pesisir pada khusu nya dan pendapat asli daerah pada umunya.
Batas
wilayah negara memiliki aspek internasional karena memberikan arti penting
dalam kepastian hukum dan pemagaran yuridis bagi suatu negara. Permasalahn
pokok tentang perbatasan menyangkut penetapan batas dan manajemen perbatasan.
Dalam rangka menjaga integritas nasional dan keutuhan negara indonesia maka
batas wilayah darat dan laut ditetapkan secara Bilateral dan Trilateral,
sedangkan untuk batas udara ditetapkan mengikuti batas wilayah darat dan laut.
Jadi pada
masa pemerintahan Reformasi usaha untuk menjaga batas wilayah sudah sering
dicanangkan dengan dibentuknya lembaga-lembaga untuk menjaga dan melakukan
pembangunan tetapi kurangnya tanggung jawab berbagai pihak untuk bekerja sama
dengan instansi pemerintah, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
pemerintah dengan swasta dan kerja sama pemerintah dengan masyarakat harus
diperkuat. Untuk itu landasan yang digunakan pada masa itu adalah UU No. 22 Tahun
1999.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang hanya menyebut kabupaten.
Oleh UU Pemda, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun UU
no. 22 Tahun 1999 telah mengalami perubahan yaitu UU No. 32 tahun 2004 dan kini
berubah kembali menjadi UU No. 23 Tahun 2014 dimana didalamnya membahas
mengenai cakupan wilayah dan batas daerah.
2.2 Penyelesaian Konflik Batas Daerah
Perbatasan daerah sebelumnya dibahas dalam UU
No. 22 Tahun 1999, kemudian mengalami perubahan menjadi UU No.32 tahun 2004. Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa daerah dibentuk dengan UndangUndang Pembentukan daerah,
antara lain mencakup : nama, ibukota, cakupan wilayah, batas. Pasal 198
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan setiap undang-undang pembentukan daerah
otonom baru mengamanatkan bahwa penentuan batas wilayah daerah secara pasti di
lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Batas daerah harus memenuhi
aspek yuridis dan teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Dalam Negeri dilengkapi dengan peta batas sebagai lampiran
yang memberikan informasi kejelasan cakupan wilayah yang berbatasan, koordinat
titik batas, simbol posisi pilar batas dan unsur geografis lainnya (sungai,
jalan), aspek fisik di lapangan di tandai dengan terpasang pilar batas dan
teridentifikasinya koordinat posisi pilar batas.
Di dalam UU No. 32/2004 mengatur penentuan dan
penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Menteri Dalam Negeri
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2006
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Penegasan batas darat meliputi beberapa
langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas,
pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas.
Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam
Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat
dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas
daerah.
Untuk batas dari unsur buatan seperti
pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah
geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan
datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi
datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama
jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan.
Secara teknis, aspek yang sangat penting
dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal
yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas
yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang
diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena
dampak akibat adanya penegasan batas tersebut.
Untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan
dengan unsur alam (sungai, watershed, dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel
kereta, saluran irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam
akan mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal
inilah yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun
demikian, penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh
masyarakat sekitar.
Untuk batas dari unsur buatan seperti
pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah
geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan
datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi
datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama
jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan.
Sebaliknya, suatu posisi tertentu di lapangan bisa dinyatakan dengan
koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya berbeda.
Terkait dengan ketelitian posisi/koordinat
titik batas, Permendagri juga sudah memberikan spesifikasi yang rinci.
Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi
yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS),
yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah salah satu yang direkomendasikan.
Namun demikian, penggunaan GPS sendiri harus memperhatikan jenis dan metode
pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang disyaratkan.
Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld) seperti yang sekarang populer di
masyarakat berupa peranti seukuran handphone tentu saja menghasilkan ketelitian
posisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan GPS jenis geodetik yang
dilakukan secara relatif (deferensial).
Tim Penegasan Batas di tingkat provinsi
maupun pusat harus memahami hal ini. Dalam era otonomi di mana luas daerah
menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU),
batas daerah menjadi sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak
mungkin dihitung. Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan
agenda penting dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dengan adanya kejelasan batas daerah
maka dapat mencegah terjadinya konflik batas daerah yang dapat menimbulkan
korban harta, benda dan jiwa serta ekonomi biaya tinggi (high cost economic),
tertatanya kode wilayah administrasi pemerintahan, berjalan optimal
penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah, pelaksanaan pembangunan daerah
yang berjalan optimal dan terlaksananya penyaluran dana perimbangan (DAK) yang
tidak menimbulkan konflik.
Terkait DAU, ada sebuah wacana bahwa luas
wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya DAU yang diterima suatu daerah
seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang berlaku sekarang, tetapi juga
luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk
kepulauan dimana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang
menghubungkan pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal
ini telah menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan
bahwa penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI
dengan Plt. Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, 14 Juni 2010,
Permasalahan Penataan Batas Daerah adalah sebagai berikut:
1. Batas
daerah yang tidak jelas akan memicu konflik di wilayah perbatasan;
2. Pada umumnya
permasalahan muncul terkait dengan pembentukan daerah otonom baru, yang dalam
kurun waktu 10 (sepuluh) tahun (1999 s.d. 2009) mencapai 205 (dua ratus lima)
daerah otonom baru (wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota). hal ini
dikarenakan peta-peta lampiran pada Undang-Undang tentang pembentukan daerah
pada umumnya belum memenuhi standar kaidah pemetaan secara kartografi.
sehingga dalam pelaksanaan penegasan batas daerah secara pasti di lapangan
banyak menimbulkan multitafsir yang berdampak kepada :
a. Overlapping cakupan
wilayah;
b.Duplikasi pelayanan pemerintahan atau tidak
adanya pelayanan pemerintahan;
c. Perebutan untuk
mengelola sumber daya alam;
d. Overlapping
perijinan lokasi usaha;dan
e. Daerah pemilihan
ganda pada proses Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah.
Kegiatan yang telah dilakukan Direktorat
Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri dalam pengelolaan perbatasan antar
daerah:
1. Mendorong peran
gubernur untuk memfasilitasi penyelesaian dimaksud dan perselisihan antar
Provinsi, antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayahnya, serta antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota di luar wilayahnya. Menteri Dalam Negeri
memfasilitasi penyelesaian perselisihan dimaksud sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 198, yaitu:
a. Apabila terjadi
perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar Kabupaten/Kota
dalam 1 (satu) Provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud;
b. Apabila terjadi
perselisihan antar Provinsi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayahnya,
serta antara Provinsi dan 37 Kabupaten/Kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam
Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud;
c. Keputusan
sebagaimana dimaksud bersifat final.
2. Untuk menghindari
terjadinya permasalahan sengketa batas daerah, diusulkan Undang-Undang
Pemekaran Wilayah harus mencantumkan/ mengidentifikasi :
a. cakupan wilayah
desa-desa di wilayah perbatasan dengan titik-titik koordinat;
b. kejelasan
kepemilikan pulau-pulau;
c. pembuatan peta
lampiran harus merujuk pada peta yang dikeluarkan oleh instansi yg berwenang;
d. batas daerah yang
tertuang dalam batang tubuh harus sesuai dengan yang tergambar di atas peta
lampiran Undang-Undang Pemekaran Wilayah serta sesuai standar kaidah pemetaan
secara kartografi;
e. proses utk
menentukan hal tersebut, harus dikoordinasikan antara Provinsi dan Kabupaten
yang berbatasan
Penegasan batas daerah dititik beratkan pada
upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis
maupun fisik di lapangan (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006
Pasal 2 ayat 1). Tentang penegasan batas daerah yang diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan
Batas Daerah. Penetapan Batas Wilayah dilakukan melalui penegasan batas daerah
yang merupakan kegiatan penentuan batas secara pasti (fixed boundary) di
lapangan, dengan sistim referensi nasional yang digunakan Datum Geodesi
Nasional 1995. Batas daerah merupakan pemisah wilayah penyelenggaraan
kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah di darat merupakan
pemisah wilayah administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa
pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta. Batas daerah di laut
merupakan pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner)
di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas
kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut. Pelacakan batas daerah di
darat merupakan kegiatan untuk menentukan letak batas di darat berdasarkan
kesepakatan dan pemasangan tanda batas sementara. Penegasan batas daerah
dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik
dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan, penegasan batas dilakukan dalam
rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan
penentuan titik koordinat batas. Penegasan batas daerah berpedoman pada
batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah.
Penegasan batas daerah di darat diwujudkan melalui tahapan penelitian dokumen
pelacakan batas; pemasangan pilar batas; pengukuran dan penentuan posisi pilar
batas; dan pembuatan peta batas. Tahapan penegasan batas daerah dilakukan
dengan prinsip geodesi dan dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
Penelitian dokumen meliputi: Peraturan
Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah dan dokumen lainnya yang
disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Kegiatan pelacakan batas daerah di
lapangan meliputi penentuan titik-titik batas dan garis batas sementara di
lapangan. Pengukuran situasi dilakukan sepanjang garis batas daerah selebar 100
m ke kiri dan 100 m ke kanan garis batas tersebut. Batas daerah yang ditegaskan
dapat dinyatakan dalam bentuk bangunan fisik buatan manusia seperti: pilar,
gapura, persil tanah, jalan dan atau batas alam seperti: watershed, sungai.
Batas daerah yang tidak dapat ditegaskan dalam suatu bentuk bangunan fisik
seperti melalui danau dan tengah sungai dinyatakan dengan pilar acuan batas.
Dalam rangka menetapkan dan menegaskan batas daerah perlu dilakukan kegiatan
penelitian dokumen batas, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran
dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Jika dasar hukum
untuk penegasan batas daerah belum ada atau belum jelas, maka dapat diterapkan
penggunaan bentuk-bentuk batas alam. Batas alam merupakan objek di lapangan
yang dapat dinyatakan sebagai batas daerah. Penggunaan bentuk alam sebagai
batas daerah akan memudahkan penegasan batas di lapangan karena tidak perlu
memasang pilar yang rapat. Bentuk-bentuk batas alam yang dapat digunakan
sebagai batas daerah adalah garis batas di sungai merupakan garis khayal yang
melewati tengah-tengah sungai ditandai oleh pilar batas di tepi sungai yang
memotong garis batas tersebut. Pada daerah sungai yang labil, pilar dipasang
agak jauh dari sungai sehingga pilar tersebut bukan merupakan pilar batas
tetapi titik acuan bagi batas sebenarnya. Dari pilar tersebut harus diukur
jarak ke tepi dekat dan tepi jauh sungai serta arahnya.
2.3 Konflik Mengenai Batas Daerah di Era
Otonomi Pasca
UU No. 22 Tahun 1999
Era otonomi yang dimaksud menunjuk pada suatu
era yang dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Hal itu ditandai dengan pelaksanaan asas desentralisasi yang
dilaksanakan dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan pelaksanaan asas
desentralisasi sebelumnya dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab saja
(UU Nomor 5 Tahun 1974), sehingga masih terkesan sentralistis.
Kehendak untuk mewujudkan otonomi daerah
dilandasi oleh keprihatinan bangsa semasa Orde Baru (Orba) karena adanya
sentralisme kewenangan dan keuangan yang telah mengakibatkan ketimpangan
anggaran pembangunan antara pusat (wilayah ibukota Jakarta) dan daerah (wilayah
lain). Oleh karena itu otonomi yang hendak dilaksanakan berdasarkan UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, adalah
otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Adapun penekanan prinsip seluas-luasnya
memiliki arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah (politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama).
Hal penting lainnya yang ditentukan oleh kedua
UU mengenai otonomi daerah adalah pada masalah pengelolaan keuangan
daerah.
Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 (pada
Penjelasan Umum) menyebutkan bahwa untuk menyelenggarakan otonomi
diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Di
samping itu disebutkan pula bahwa kewenangan keuangan yang melekat pada setiap
kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah.
Adapun dalam UU nomor 32 Tahun 2004 (pada
Penjelasan Umum) disebutkan bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah
akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan
diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah.
Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang
diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Sumber keuangan
tersebut antara lain berupa: pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah, bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional di daerah, dan
dana perimbangan lainnya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa semenjak
era otonomi, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar
dibandingkan dengan era sebelumnya. Selanjutnya aspek wilayah menjadi suatu
yang sangat penting sebab wilayah suatu daerah mencerminkan sejauh mana
kewenangan daerah tersebut dapat dilaksanakan. Wilayah merupakan aspek yang
dapat menunjang kemampuan penyelenggaraaan otonomi daerah karena dari wilayah
dapat dihasilkan pajak dan retribusi daerah, dan juga bagi hasil sumber-sumber
daya nasional. Bahkan luas wilayah merupakan variabel dalam penentuan bobot yang
mempengaruhi besarnya dana alokasi umum yang diterima daerah. Oleh karena itu
batas daerah memiliki arti penting dan strategis apabila dibandingkan dengan
era sebelumnya.
Namun pada kenyataannya, arti penting dan
strategis dari batas daerah belum diimbangi dengan kejelasan batas antar daerah
sehingga akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat
mengakibatkan konflik antar daerah.
Pada hakekatnya, konflik tercipta dari
kompetisi memperebutkan akses terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber
ekonomi/kemakmuran dari aktor-aktor yang berkepentingan.
Pernyataaan ini selaras dengan sebuah
kesimpulan yang mengatakan bahwa daerah akan merasa terancam kepentingan
politik dan ekonominya bila gagal mempertahankan sumbersumber yang bisa
meningkatkan pendapatan daerah. Celakanya, perasaan terancam ini pula yang
menyebabkan daerah rentan disulut konflik atau kesalahpahaman terhadap daerah
lain.
Munculnya konflik atau benturan
kepentingan antardaerah, pada dasarnya merupakan refleksi dari kesalahpahaman,
kegamangan, dan egoisme daerah dalam melaksanakan otonomi. Otonomi
sering dipersepsikan lebih dari sekedar dapat mengatur rumah tangganya sendiri,
namun hingga tidak mau dicampuri oleh pihak lain walaupun dalam konteks
koordinasi dan sinkronisasi. Peningkatan daya saing daerah yang diamanatkan
Undang-undang lebih dipersepsikan secara negatif, sehingga daerah enggan
menjalin sinkronisasi regional (antardaerah).
Di samping itu, kabupaten/kota sering
menerjemahkan otonomi ini sebagai kewenangan untuk menggali pendapatan
daerah yang sebanyak-banyaknya melalui pajak dan retribusi serta
eksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang dan
generasi mendatang.
Pruitt dan Rubin menjelaskan bahwa konflik
terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi
kedua belah pihak dan lebih jauh masing-masing pihak memiliki alasan untuk
percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka
sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut. Mengacu
pada penjelasan Pruit dan Rubin tersebut, dapat diasumsikan ada obyek bernilai
yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak. Rumusan obyek bernilai
ini membantu untuk mengidentifikasi bagian wilayah yang disengketakan sebagai
obyek bernilai.
2.4 Penyelesaian Sengketa
Bila mana terjadi perselisihan batas
maka penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU No. 32
Tahun 2004 Pasal 198, adalah:
· Apabila
terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota
dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
· Apabila
terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di
wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya,
Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
· Keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
Target Penyelesaian 609 Segmen Batas Antar
Daerah, meliputi;
· Batas
Daerah Antar Provinsi Berjumlah 127 Segmen Batas
· Batas
Daerah Antar Kab/Kota Dalam Satu Provinsi Berjumlah 482 Segmen
Batas.
· Batas
Daerah Antar Provinsi Menjadi Kewenangan Menteri Dalam Negeri Untuk Menyelesaikannya.
· Batas
Daerah Antar Kab/Kota Dalam 1 Provinsi Menjadi Kewenangan Gubernur Untuk
Menyelesaikannya
· Dasar
Hukum Penyelesaian Adalah Pada UU No. 32 Tahun 2004 Pasal
198 Dan Permendagri No. 1 Tahun 2006 Pasal 20
·
Dari 482 Segmen Batas Mencakup Seluruh 33 Provinsi.
Percepatan Penyelesaian Sengketa Batas
DitjenPum saat ini tengah menggagas upaya baru
untuk mempercepat penyelesaian sengketa batas antar daerah yang ditempuh lewat
jalur pengaturan pada revisi peraturan menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2006 dan
metode penyelesaian sengketa batas itu sendiri dan ditambah dengan memperkuat
serta lebih mengoptimalkan kinerja yang sudah ada. Dengan demikian ada beberapa
hal yang menjadi inti percepatan ini, yang meliputi;
·
Revisi Permendagri No.1 Tahun 2006 tentang Penegasan Batas di Lapangan.
·
Mengoptimalkan Penyelesaian Batas dengan cara Kartometrik dengan menghindari
sedapat mungkin pelacakan lapangan. Hal ini dapat di optimalkan apabila ada
dukungan data dari Pemerintah (berupa peta dasar, peta Batas Indikatif
yang lebih akurat dengan memanfaatkan the best available data
seperti Citra satelit, SRTM, DEM dan IFSARdalam bentuk digital). Kerjasama
(Kesepakatan atau Kontrak Kerjasama) dengan Bakosurtanal dan Dittopad untuk
penyediaan Peta Dasar Rupabumi atau Topografi dalam format digital dengan
skala yang memadai.
·
Metode kartografis dilakukan pada tahap pelacakan batas daerah dengan catatan
untuk pelacakan batas yang sulit dilakukan di lapangan ditelusuri pada
peta kerja & ditentukan titik koordinatnya dan titik-titik koordinat batas
yang belum disepakati/ masih meragukan, dapat dilaksanakan pelacakan/ recheck
ke lapangan. Hasil pelacakan di atas peta yang disepakati digunakan sebagai
bahan penyusunan PERMENDAGRI tentang Batas Daerah; Pilar dapat dipasang
kemudian jika dipandang perlu dan memungkinkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wilayah perbatasan merupakan kawasan
tertentu yang mempunyai dampak penting dan memiliki peran strategis bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertahanan kesejahteraan
social ekonomi masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah, yang memiliki
keterkaitan yang kuat dengan kegiatan di wilayah lain yang berbatasan, baik dalam
lingkup nasional maupun antar Negara dan pastinya mempunyai dampak politis dan dampak
terhadap fungsi pertahanan keamanan nasional. Pasca UU No.22 Tahun 1999 yang
kemudian berubah menjadi UU No.32 tahun 2004 disebutkan
bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal
apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Semua sumber keuangan yang
melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi
sumber keuangan daerah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa semenjak era
otonomi, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan
dengan era sebelumnya. Dalam hal ini UU No.32 tahun 2004 menyampaikan beberapa
penyelesaian terhadap perselisihan yang terjadi antara daerah perbatasan.
3.2 Saran
Selama ini pengembangan kawasan perbatasan masih lebih menekankan kepada
aspek pertahanan dan keamanan yang sebenarnya belum maksimal dalam
realisasinya, sementara kedepan yang dikehendaki adalah arah yang lebih memberi
peran kepada pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya tanpa
melupakan faktor keamanannya,dengan cara menyusun strategi yang dapat dilakukan
negara kita antara lain : Pemetaan kembali titik-titik perbatasan Indonesia,
Bangun jalan di sepanjang perbatasan darat, Pembangunan wilayah baru didekat
perbatasan, galakkan kembali transmigrasi, pilih pemimpin yang kuat dan tegas,
perkuat diplomasi international, dan pembangunan sistem pendidikan yang
nasionalis. Dalam menjaga pertahanan tidaklah hanya pemerintah yang ikut
bertanggung jawab tetapi keikutsertaan bangsa indonesia dan masyarakat sekitar
perbatasan menjadi sangat penting agar kita sebagai bangsa Indonesia menjadi
satu kesatuan yang tidak bisa di ganggu oleh bangsa lain dalam aspek perbatasan
wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana, I Made Andi, 2006. Arti Penting Penegasan Batas
Wilayah Antar Daerah, artikel dalam http://geopolitical.boundaries.blogspot.com
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peranan
Badan Pertanahan Nasional Dalam Penetapan Batas Wilayah, Disampaikan dalam
Seminar Nasional peringatan setengah abad Teknik Geodesi Universitas Gadjah
Mada pada tanggal 26 Juni 2009
Asep
Nurjaman dalam Nurudin, dkk., 2006, Kebijakan Elitis Politik Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal.156
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Syamsul
Hadi, et.al., 2007, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik lokal
dan Dinamika Internasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 272
Zuhro,
Siti R, et.al, 2004, Konflik & Kerjasama Antar Daerah: Studi
Pengelolaan Hubungan Kewenangan Daerah dan Antar Daerah di Jawa Timur, Bangka,
Belitung, dan Kalimanatan Timur, Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta, hal.
163
ibid, hal. 163
Dwiyanto,
Agus, et.al, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan & Otonomi Daerah, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, hal. 61
Dean G. Pruit & Jeffrey Z Rubin, 2004,
Teori Konflik Sosial (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Social
Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement, Mc. Graw-Hill Inc,hal. 26.
Ikhwan,
Khairul Damanik. Dkk. Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan
Indonesia. 2011. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Prihartono, Hari T. dkk. Keamanan
Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Politik dan Kebijakan. 2007. Jakarta:PropatriaInstitute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar