27 Mei
Identitas
Pertanyaan yang sangat umum kita
dengar sehari-hari, “ ah, ada orang baru? siapa dia?, dari mana asalnya?
Pertanyaan-pertanyaan siangkat tersebut memerlukan jawaban yang sangat panjang
dan kompleks untuk menjelaskan identitas seseorang. Pencarian identitas adalah
suatu proses panjang yang harus ditempuh manusia untuk menempatkan diri dalam
masyarakat.
Untuk membangun identitas manusia
dalam pertumbuhannya berusaha mencerna apa yang ada di sekitar lingkungannya,
bertindak dan berpikir sesuai dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Bagian
utama dari suatu bangunan identitas adalah proses panjang penilaian terhadap
diri sendiri serta usaha individu untuk menguasai dirinya sendiri.
Dalam proses selanjutnya, setelah
individu mengenal tentang dirinya, ia mampu mengembangkan dirinya melalui
penelaahan yang lebih dalam terhadap pengalaman-pengalaman dan informasi yang
ditangkapnya. Penilaian pengalaman dan informasi tersebut mengalami beberapa
tahapan yaitu ‘usaha untuk melupakan ’, ‘seleksi’, ‘membandingkan’,
dan ‘mengingat’1 dan melalui penahapan tersebut manusia terus
membangun dirinya. Berdasar pada penahapan tersebut maka identitas individu
bukanlah sesuatu yang statis melainkan selalu berkembang sesuai tuntutan
sosial.
Selanjutnya manusia berada dalam
ruang bersama yang lebih luas yang mencakup konsep ruang dan waktu. Ruang
kolektif tersebut dipahami secara relatif sejauh kemampuan manusia mencernanya.
Maka dalam proses interaksi tersebut identitas individu melebur dalam suatu
sudut pandang kolektif sehingga timbul identitas kolektif dan kita mengenalnya
sebagai identitas kelompok, identitas warga dan identitas bangsa. Dalam ruang
kolektif terbentuk stereotip ’kita’ dan ’mereka’ yang secara kontinyu selalu
bersinggungan dan membentuk tegangan. Suatu kelompok masyarakat yang
mengidentifikasikan kelompoknya sebagai anggota masyarakat modern tentu saja
tersinggung apabila oleh kelompok lain disebut sebagai ’primitif’. Sedangkan kelompok
masyarakat yang dianggap oleh kelompok lainnya ’primitif’ mungkin tidak
tersinggung oleh anggapan tersebut karena mereka menilai lingkungan di
sekitarnya jauh berbeda dengan apa yang dilakukan kelompok lain.
Dari paparan di atas bangunan
identitas kelompok pun akan mengalami proses perkembangan. Bangsa Indonesia pun
berkembang sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Proses sejarah telah menempa
anak-anak bangsa untuk terus melakukan inovasi untuk keluar dari kesulitan dan
bertahan dari tantangan jaman. Sepanjang perkembangan bangsa Indonesia patut
untuk tidak dilupakan semangat inovatif para pendahulu kita yang telah lebih
dulu berusaha menemukan jati dirinya dan berjuang untuk keyakinannya bahwa apa
yang ia lakukan baik sendiri maupun bersama dengan yang lainnya untuk membangun
jati diri kolektif sehingga bangsa indonesia mendapatkan pengakuan sebagai
suatu bangsa yang merdeka dan mampu berdiri sendiri.
1 Hans Peter Frey, Karl Hauser (Ed). Identität, Stuttgart,
1987
Berbicara mengenai sejarah, maka patut
pula untuk menilik kembali apa sesungguhnya hakikat dari Hari Ibu. Hari Ibu di
Tanah Air yang jatuh pada tanggal 22 Desember mempunyai akar sejarah dan makna
jauh berbeda dari tradisi Mother’s Day model Barat. Momentum ini bertolak dari
semangat pembebasan nasib perempuan dari belenggu ketertindasan pada waktu itu.
Peristiwa ini terjadi pada momentum Konngres Perempuan Indonesia I di
Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 yang dihadiri sekitar 30 organisasi
perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.
Konggres ini adalah salah satu
puncak kesadaran berorganisasi kaum perempuan Indonesia karena di dalamnya
berhasil dirumuskan tuntutan penting kaum perempuan Indonesia waktu itu,
seperti; penentangan terhadap perkawinan anak-anak dan kawin paksa, tuntutan
akan syarat-syarat perceraian yang menguntungkan pihak perempuan, sokongan
pemerintah untuk para janda dan anak yatim, beasiswa untuk anak perempuan dan
sekolah-sekolah perempuan. Hal-hal yang dibahas sepanjang konggres tersebut
merupakan persoalan dan kemelut panjang yang dihadapi kaum perempuan pada masa
tersebut sehingga mereka sepakat untuk mendirikan Perikatan Perkumpulan
Perempuan Indonesia (PPPI) untuk memperbaiki nasib dan derajat perempuan
Indonesia.
Konggres Perempuan Indonesia yang
telah dipaparkan di atas adalah suatu hasil langkah panjang perjuangan
perempuan Indonesia sebelumnya seperti, Cut Nya Dien, Marta Kristina Tiahahu,
RA. Kartini, Dewi Sartika dan para pejuang perempuan lainnya. Dari merekalah
kita belajar untuk mencerna apa itu yang disebut dengan kesataraan dan keadilan
Gender dan bisa dibayangkan begitu sulitnya mereka melewati ’batas garis
perbatasan identitas’ seorang perempuan. Seorang Kartini misalnya harus
memperjuangkan ide pembebasan kaum wanita dari belenggu bukan saja dari
kelompok laki-laki, namun juga dari kaum perempuan yang masih terikat dengan
pemahaman bahwa sangatlah wajar bahwa perempuan harus dibelenggu.
Bangunan identitas perempuan terus
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Hingga saat ini kesetaraan dan
keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu penting dan sudah menjadi komitmen
bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi
terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.2
Peran Perempuan sebagai Ibu
Pembahasan mengenai peran perempuan
dalam masyarakat selalu dikaitkan antara fungsi kodrati perempuan dan fungsi
sosial. Sudah menjadi kodrat perempuan untuk mampu mengandung, melahirkan dan
menyusui. Hal itulah yang menempatkan perempuan sebagai figur pendidikan, penuh
kasih sayang, lambang keindahan dan kedamaian. Kutipan dari lagu di bawah ini
menggarisbawahi pemahaman tersebut:
Kasih Ibu
Kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
2 Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di
Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No.25 th. 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional Propenas 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi
Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan Gender.
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.
Dalam kenyataan sehari-hari peran
perempuan dihadapkan tegangan antara peran kodrati dan peran sosialnya. Berbeda
dengan seks/kodrat bahwa jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki
yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar dan
diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku
selamanya, maka Gender bukanlah kodrat karena gender berkaitan dengan
proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan
bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya di tempat mereka berada.
Dengan demikian gender dapat
dikatakan pembedaan peran, fungsi , tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah
sesuai perkembangan jaman. Oleh karena itu tanggung jawab mendidik anak dalam
rumah tangga sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama ayah dan ibu. Namun
terkadang keadaan tertentu menuntut seorang ibu untuk mendidik anak sendirian
tanpa peran laki-laki. Dalam tatanan masyarakat modern hal tersebut bukanlah
hal yang aneh. Di masa lalu pun perempuan harus menanggulangi masalah kehidupan
sendirian, tatkala para suami berjuang di medan perang ataupun berburu.
Dalam lingkungan rumah tangga peran
ibu sebagai pendidik memang tidak tergantikan, terutama pada masa balita, saat
di mana seorang anak menemukan identitas awal. Pada saat itulah ibu lebih
berperan dalam memupukan karakter seorang anak. Mereka bersentuhan langsung
dengan manusia-manusia muda yang masih sangat haus dengan persentuhan mereka
dengan dunia luar. Hal ini kadang berkelanjutan pada fase perkembangan anak
selanjutnya, yaitu terjalin hubungan emosional yang kuat antara anak dan ibu.
Hubungan antara ibu dan anak yang penuh kasih sayang membangun wawasan anak
terhadap nilai-nilai kemanusian dan pemahamannya terhadap lingkungan
sekitarnya.
Wawasan tersebut sangatlah
diperlukan dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Dalam masa
pertumbuhan tersebut dimulailah proses pemupukan budaya. Seorang anak akan
mengenal kebiasaan sehari-hari yang dilakukan oleh sang ibu, cara berpikir,
bertindak dan berbicara dengan individu lainnya. Hal-hal tersebut memberikan
pengalaman baginya untuk mencerna suatu ’kebiasaan’ atau tatanan dalam bersikap
dan merupakan persentuhan pertamanya terhadap dunia luar.
Dalam ruang yang lebih luas, seorang
anak akan dituntun oleh orang tua untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan
tatanan sosial yang ada dalam suatu kelompok, masyarakat dan negara.
Arena Dunia Yang Berubah Cepat.
Memasuki abad ke 21 kehidupan umat
manusia memasuki suatu arena yang baru. Kehidupan modern ditandai dengan
pesatnya perkembangan teknologi dan media. Manusia modern bukan hanya ingin
mengendalikan alam semesta dan menaklukkannya, namun juga memiliki peranti dan
kemampuan untuk mewujudkan hal itu. Ia semakin yakin bahwa ruang dan waktu pun
ia dapat kuasai.
Seiring dengan perkembangan tersebut
maka sangatlah dimungkinkan pertemuan berbagai budaya yang memberikan pengaruh
yang dahsyat bagi perkembangan budaya global. Media masa memberikan masukan
utama dalam pembentukan pola pikir global, demikian juga dengan perkembangan
ekonomi dan pasar global yang memungkinkan seseorang bergerak dari suatu ruang
budaya lokal ke budaya lokal lainnya. Sangatlah biasa ditemui orang Indonesia
menggunakan tas buatan perancis, sambil menikmati makan siang di suatu restoran
Jepang dan berbicara dengan kolega berbahasa Jerman. Atau sangatlah mungkin
suku asmat di papua harus menghadiri pameran kesenian di London.
Contoh-contoh tersebut membuktikan
bahwa arus globalisasi telah mendorong pertemuan multibudaya. Manusia modern
berada dalam persimpangan raya di mana berbagai budaya bertemu. Di situlah
dimungkinkan adalanya proses mengenal dan memahami, dan sangat dimungkinkan
terjadinya konflik antar budaya. Mau tidak mau generasi yang tumbuh di masa
global berada dalam pertentangan budaya lokal dan global. Kadangkala terjadi
suatu tegangan antara tuntutan untuk berada dalam ranah lokal dan melangkah
menuju ranah global.
Di sinilah diperlukan kepekaan
budaya seorang pendidik untuk dapat mengantar anak didik dalam proses
pembentukan jati diri. Bagaimana menjadi seorang Indonesia yang mampu mengambil
keputusan dari berbagai pilihan dalam hidup. Dalam alam modern pendidikan
diarahkan untuk menghasilkan manusia-manusia mandiri. Apa artinya? Mandiri
artinya memiliki kebebasan batin di dalam mengenali pilihan-pilihannya,
memutuskan pilihan-pilihan yang ada dan menanggung akibatnya, baik yang
menyenangkan maupun menyakitkan. Tentu saja dalam menentukan pilihan terdapat
beberapa faktor yang mendukung antara lain :
-gambaran realistis tentang dunia
-gambaran diri yang sehat
-memiliki nilai-nilai yang menjadi
acuan
-kejelasan tujuan yang ingin di
capai
Faktor-faktor tersebut bukanlah
sesuatu yang instan yang dapat diberikan dalam waktu satu malam, melainkan
suatu proses pemahaman seseorang terhadap dunia yang dicapai melalui
pendidikan. Di sinilah peran ibu dituntut. Gambaran realistis dunia tidak
mungkin kita pahami apabila kita tidak mempunyai akar budaya untuk memahaminya,
gambaran diripun tidak dapat tercapai apabila seseorang tidak tahu siapa
sesungguhnya dirinya dan nilai-nilai apa yang selama ini mengikatnya. Hal
inilah yang merupakan kunci dalam membangun generasi muda untuk menemukan jati diri,
dan mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan individu lain dari
manapun ia berasal dalam suatu ruang bersama dunia.