KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA” . kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini
berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan
makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya.
Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan
oleh karenanya, kami dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul
guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia, sebagai salah satu negara yang
telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit,
dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak
sekali rambu-rambu berupa peraturan – peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun
1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20
tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki
UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah
menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi
masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap, dan pikiran kita dari tindak
korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus
menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat
dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi,
dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari
kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi, pada umumnya masyarakat masih dinilai
belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa
masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat
menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam
tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk
terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan
pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu,
diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun
budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi.
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai
fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan
sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya penanganan korupsi harus
dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara/politik,
pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan pengertian,
korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi
(negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau
peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli
kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi
pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk
diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau
sifat negara, sehingga negara=Kekuasaan=Korupsi. Maka dari itu, mari kita
berusaha untuk menghilangkan korupsi di Indonesia ini.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Pengertian korupsi
2. Faktor pedorong terjadinya korupsi di
Indonesia
3. Dampak akibat korupsi
4. Upaya pemerintah dalam memeberantas korupsi dibiang legislasi di Indonesia.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan malakah ini adalah untuk
mensosialisasikan apa itu korupsi, dan bagaimana korupsi itu terjadi di
Indonesia, serta bagaimana upaya dalam pemberantasan masalah terbesar negara
ini . Diharapkan dari pembuatan makalah ini kita lebih mengerti bagaimana cara
untuk bisa memerangi korupsi di negeri ini terutama dibidang
legislasi yang kian merambah . Kita pun
dapat sedikit berpartisipasi memberantasi korupsi setelah kita mengerti dengan
jelas korupsi di Indonesia .
1.4 Manfaat
1. Mengetahui apa itu korupsi dan dampaknya?
2. Memotivasi masyarakat untuk tidak melakukan
korupsi?
3. Dapat mengurangi atau memberantas korupsi.
1.5 Ruang Lingkup
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang
sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak
ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari
penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena
korupsi merupakan hal yang amat penting yang harus segera di hilangkan atau
setidaknya berkurang dalam negara Republik Indonesia ini, karena dampak
daripada korupsi ini amatlah banyak dan sangat merugikan bagi pihak korban,
sedangkan korupsi di negara ini sudah meluas dan mungkin sudah bisa dikatakan
permanent, artinya sudah tidak bisa di hilangkan, paling tidak kita harus bisa
mengurangi adanya berbagai kasus korupsi yang ada di Negara kita ini, misalnya
saja dengan menyadarkan dan memberitahukan kepada masyarakat awam ataupun pada
mereka calon generasi penerus bangsa bahwa korupsi itu dampaknya amatlah banyak
dan sangat merugikan, serta memotivasi mereka supaya tidak menjadi generasi
yang lemah akan moral, supaya negara kita tercinta tidak melemah akibat tidak
adanya moral dari mereka yang menjadi pemempin atau mereka yang menjadi tokoh –
tokoh masyarakat. Adapun strategi pemberantasan korupsi yang dijabarkan dalam
makalah ini antaralain yaitu dengan memberikan pendidikan yang layak serta
mencetak generasi muda dengan moral yang baik agar kedepannya Negara ini akan
terus berkembang dengan baik, serta dengan membentuk komisi pemberantasan
korupsi dengan menggunakan peraturan pemerintahan yang ada, dan sanksi yang
dikenakan pada mereka yang melakukan tindak korupsi haruslah adil, supaya
mereka jera. Untuk itulah kita harus senantiasa menjaga dan melindungi diri
kita sendiri agar tindak melakukan tindak korupsi.
BAB II
METODE PENULISAN
2.1 Objek Penulisan
Objek penulisan Pemberantasan korupsi di Indonesia, menggunakan metode
pengumpulan data, baik dari artikel, internet, maupun referensi.
2.2 Dasar Pemilihan Objek
Makalah ini dibuat untuk menyampaikan,
menganalisis, mencari solusi penanganan korupsi, serta mengklasifikasi
penanganan korupsi yang ada di Indonesia.
2.3 Metode Pengumpulan Data
- Kaji Pustaka
Rangkaian pengumpulan data yang
dilakukan terkait dengan makalah ini antara lain adalah mencari sumber
informasi yang berkaitan dengan topik pemberantasan korupsi di Indonesia,
mempelajari referansi, data dari internet, menganalisis data dan informasi yang
diperoleh, serta menyajikannya di dalam sebuah makalah.
2.4 Metode Analisis
Menggunakan Metode Deskriptif Analitis: Mengidentifikasi permasalahan
berdasarkan fakta dan data yang ada: Menganalisis permasalahan berdasarkan
pustaka dan data pendukung: Mencari alternatif atau solusi pemecahan masalah.
BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN
3.1. Pembahasan
3.1.1 Defenisi Korupsi
Pengertian Korupsi Secara etimologis, korupsi berasal dari
kata “korup” yang berarti buruk, rusak, dan busuk “korup” juga dapat berarti
dapat disogok (melalui kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Korupsi juga
disebutkan berasal dari bahasa latin corrupere dan corruptio yang berarti
penyuapan dan corrupere yang berarrti merusak. Istilah ini kemudian di
pakai dalam bebagai bahasa asing, seperti Inggris menjadi cooruption dan di
Indonesia menjadi korupsi.
Dalam bahasa arab korupsi disebut riswah yang
berarti penyuapan. Riswah juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai
sebuah tindakan yang merusak dan berkhianat juga disebut fasad dan gulul.
Ketiga istilah ini memiliki rujukan teologis baik dalam hadis maupun Alquran. Sementara dalam terminologis korupsi diartikan
sebagai pemberian dan penerimaan suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan
pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian baik yang menerima
maupun memberi keduanya termasuk korupsi. David M Chalmers menguraikan pengertian
korupsi sebagai tindakan-tindakan manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan
yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia dalam Encyclopedia of social sciens (Vol
VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekusaan pemerintahan
untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat spesifik dan
konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah
semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan
negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke
sektor swasta, maka definisi korupsi mengalami perluasan. Ia tidak hanya
terkait dengan penyimpanagan yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh
pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik baik politisi, pegawai negrimaupun
orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan cara melanggar hukum.
Berpijak paa hal tersebut Transparancy International memasukan tiga unsur
korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan
keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat
lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan materil.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan materil.
3.1.2.
Prinsip-Prinsip
Antikorupsi
Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya
merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan
korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti
korupsi terkait dengan semua objek kegiatan publik yang menuntut adanya
integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan
kepentingan publik diatsa kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada
beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu
prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran dan adanya aturan maen yang
dapat membatasi ruang gerak korupsi, serat kontrol terhadap aturan maen
tersebut.
a.
Akuntanbilitas
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting
dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan
agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang yang dijalankan sebuah
lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Akuntabilitas mensyaratkan
adanya sebuah kontrak aturan maen baik yang teraktualisasidalam bentuk konvensi
maupun konstruksi, baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun
pada level lembaga.Melalui aturan maen itulah sebuah kebijakandapatdipertanggungjawabkan. Oleh
kaerena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi
membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan
maupun dalam bebtuk komitmen dan dukungan masyarakat.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.
b.
Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang
mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk
penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk,
sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika struktural
kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya transparansi sehingga
tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam
bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua individu atau
lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks ini merupakan
bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang terbina
antar individu.
Sektor-sektor yang harus melibatkan masyarakat
adalah sebagai berikut:
1)
Proses
penganggaran yang bewrsifat dari bawah ke atas, mulai dari perencanaan,
implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian terhadap kinerja
anggran. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan kontrol terhadappengelolaan
anggaran.
2)
Proses penyusunan
kegiatan atau proyek
3)
Proses pembahasan
tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi
penggalangan dana.
4)
Proses tentang tata cara dan mekanisme
pengelolaan proyek mulai dari proses tender, pengerjaan teknis, pelaporan
finansial dan pertanggungjawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh
pimpinan proyek atau kontraktor.
c.
Fairness
Fairness merupakan salah satu Prinsip-prinsip
anti korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip Fairness
sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya manipulasi dalam
penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumya,
maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan penyimpangan
baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness
dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall dalam bukunya White
Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau
koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara licik, menipu dan jauh dari
sifat-sifat fairness.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
1)
Komprehensifdandisiplin
2)
Fleksibilitas
3)
Terprediksi
4)
Kejujuran
5)
Informatif
d.
Kebijakan Anti
Korupsi
Kebijakan merupak sebuah upaya untuk mengatur
tata interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar
biasa yang mengancam tata kehidupan berbagai telah memaksa setiap negara
membuat undang-undang untuk mencegahnya. Korupsi sebagai bagian dari
nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat dikendalikan dan dikontrol oleh
peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat dilihat dalam beberapa perspektif,
yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan, penegakkan kebijakan, hukum
kebijakan.
e.
Kontrol Kebijakan
Mengapa perlu kontrol kebijakan? Jawaban yang
pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang dianut selama
ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga
dasawarsa, pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah
sendiri. Ini berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan pemerintah teramat
dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah
dan sama sekali tidak perlu melibatkan masyarakat seolah-olah pemerintah paling
mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negarannya. Itulah sebabnya,
ditengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus direkonstruksi sehingga
tumbuh tradisi baru berupa kontrol kebijakan.
Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak dibangun.
Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak dibangun.
3.2 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di
Indonesia
·
Konsentrasi
kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat,
seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
·
Gaji yang masih
rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang
lamban dan sebagainya.
·
Sikap mental para
pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran
bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah.
·
Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.
·
Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
·
Proyek yang
melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
·
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
·
Lemahnya
ketertiban hukum.
·
Lemahnya profesi
hukum.
·
Gaji pegawai
pemerintah yang sangat kecil.
·
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
·
Ketidakadaannya
kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”.
3.3 Dampak
negatif korupsi
·
Terhadap demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
·
Terhadap perekonomian
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi
dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di
dalam sector publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
·
Terhadap kesejahteraan umum
negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan
memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat
luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil.
Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
3.4 Upaya Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi dibidang legislasi di Indonesia
·
Kontekstualitas
Penyusunan Paket Undang-Undang di Bidang Korupsi
DPR masih harus menyelesaikan 199 Rancangan
Undang Undang (RUU). Selain jumlahnya yang fantastis, RUU yang harus diselesaikan
pun tergolong sangat penting dan mendesak. Diantaranya adalah empat
undang-undang terkait dengan pemberantasan korupsi yaitu Undang-Undang
Pengadilan Korupsi, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), dan Undang-Undang Perampasan Aset.
Empat undang-undang di bidang korupsi ini
telah masuk dalam Program Legislasi Nasional(Prolegnas) 2008. Dua undang-undang
masuk dalam Prolegnas terkait dengan putusan MK, yaitu Undang-Undang Pengadilan
Korupsi dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara pembahasan
dua undang-undang lainnya yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Perampasan Aset, terkait dengan penyesuaian substansi
undang-undang dengan United Nation Convention Against Corruption (Konvensi Anti
Korupsi) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Penyusunan Undang-Undang Pengadilan Korupsi
merupakan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara uji meteriil
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam putusannya MK meminta
Pengadilan Korupsi diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri. Untuk
pekerjaan ini MK memberi jangka waktu tiga tahun sejak putusan. Sehingga mau
,tidak mau sebelum masa jabatan berakhir DPR harus sudah menyelesaikannya.
Kalau tidak, resikonya luar biasa. Pengadilan Korupsi akan dianggap
inkonstitusional. Penanganan perkara korupsi akan beralih ke Pengadilan Negeri
(Pengadilan Umum). Jelas ini suatu kondisi yang tidak diharapkan dan akan
menjadi titik awal mundurnya pemberantasan korupsi. Selain itu, kalau DPR gagal
membahas RUU Pengadilan Korupsi maka masyarakat akan mencatatnya sebagai
kegagalan besar DPR periode 2004 – 2009.
Apabila dibandingkan dengan tiga undang-undang
lainnya, Undang-Undang Pengadilan Korupsi paling mendesak segera diselesaikan.
Ini karena adanya batas waktu yang diberikan oleh MK dan implikasinya apabila
tidak dipenuhi jangka waktu tersebut. Namun, bukan berarti tiga undang-undang
lainnya tidak mendesak karena undang-undang ini juga sangat berperan dalam
rangka mengelola pemberantasan korupsi di Indonesia dan dalam rangka mendukung
penerapan prinsip-prinsip internasional dalam memberantas korupsi. Pertanyaannya adalah, mampukah DPR
menyelesaikan pembahasan empat undang-undang ini di sisa masa jabatannya?
Idealnya, parlemen sebagai representasi rakyat
seharusnya menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi. Peran tersebut
bisa ditunjukkan dengan kinerja dan perilaku mereka. Namun kenyataannya
sebaliknya, memprihatinkan. Dari segi perilaku. KPK telah
mengungkap dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR.
Sekedar contoh, aliran dana BLBI dan dugaan suap alih fungsi hutan lindung di
Pulau Bintan. KPK telah menahan beberapa anggota DPR yang diduga terlibat dalam
tindak kejahatan itu. Bahkan untuk kasus dugaan suap alih fungsi hutan lindung,
diwarnai dengan tertangkap tangannya Al Amin Nur Nasution, dari Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, yang diduga menerima suap di sebuah hotel. Dua kasus itu hanyalah sebagian kasus yang
berhasil diungkap. Jauh sebelumnya, muncul pengakuan Rohmin
Dahuri tentang aliran dana Departemen Keluatan dan Perikanan ke beberapa
anggota DPR. Selain itu, aliran dana juga mengucur untuk pembiayaan kegiatan
DPR. Tak tanggung-tanggung informasi ini terungkap dalam persidangan. Nilai informasinya
sangat kuat. Sayangnya sampai sekarang kasus ini tidak ditindaklanjuti.
Tak hanya terkait dengan kasus. Anggota DPR
juga menunjukkan ketidaksukaannya pada KPK. Mereka mengusulkan pembubaran KPK
dengan berbagai alasan. Adalah Ahmad Fauzi, dari Fraksi Partai Demokrat. Ia
mengusulkan pembubaran KPK. Alasannya Kepolisian dan kejaksaan dinilai sudah
bisa menjalankan tugasnya untuk mengungkap kasus korupsi. Suatu alasan yang
patut dipertanyakan. Terlebih lagi usul ini muncul (lagi) setelah KPK menahan
beberapa anggota DPR untuk dugaan korupsi. Sebelumnya usul
ini juga pernah disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)Komisi III
dengan Koalisi Pemantau Peradilan. RDPU ini untuk menjaring masukan bagi
pelaksanaan fit and proper test calon pimpinan KPK periode 2007 – 2011. Alasan
pembubarannya karena anggaran lembaga itu yang besar, sementara pengembalian
hasilkorupsi ke kas negara kecil. Wacana tentang
pembubaran KPK di DPR juga sudah berhembus pada permulaan tahun 2007. Prof
Machfud MD, Fraksi Partai kebangkitan Bangsa, dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) pada 27 Januari 2007
mengatakan “di kalangan wakil rakyat, ini (wacana pembubaran KPK) sudah mulai
dihembuskan. Jika akhirnya DPR RI menyetujui, dan benar-benar digulirkan upaya
pembubaran KPK, maka tamat sudah riwayat pemberantasan korupsi di negeri ini.”
(Suara Merdeka, 27 Januari 2007). Pada September 2007, Machfud juga mengatakan
“sejak setahun lalu, ada yang mengajak saya untuk mendukung pembubaran KPK
melalui legislative review, yakni pencabutan UU KPK oleh DPR. Alasannya, kita
sudah mempunyai kejaksaan, kepolisian,dan pengadilan biasa yang perlu
diberdayakan melalui sistem ketatanegaraan yang normal”(Harian indopos, 27
September).
Fakta di atas memunculkan pertanyaan bagaimana
nasib pemberantasan korupsi, jika korupsi juga melanda DPR. Bahkan pembubaran
KPK juga muncul dari DPR. Jelas ini menjadi ancaman besar bagi pemberantasan
korupsi. Mampukah DPR menyusun paket undang-undang bidang korupsi yang
mendukung upaya memberantas korupsi?
Agenda ke depan
DPR mempunyai kuasa besar dalam memberantas
korupsi. Kuasa yang dimiliki bisa memperkuat atau justru memperlemah
pemberantasan korupsi. Salah satunya terletak dalam fungsi legislasi. Hidup
matinya pemberantasan korupsi ada pada kemauan politik DPR. Dengan melihat sisa
waktu yang tidak sampai satu tahun ini, menjadi taruhan yang cukup besar bagi
nasib pemberantasan korupsi. melihat kondisi yang ada, pembahasan paket
undang-undang anti korupsi ini dihadapkan pada dua tantangan besar yaitu masalah
waktu dan kemauan politik.
Pertama, masalah waktu. Solusinya DPR harus
segera membahas. Itu satu hal yang perlu segera dilakukan oleh DPR. Semakin
lama ditunda maka semakin sempit waktu yang tersisa untuk DPR menghasilkan
undang-undang yang mampu secara efektif mendukung pemberantasan korupsi. Memang
sepertinya ada kesepakatan bahwa untuk paket undang-undang ini pemerintah yang
akan menyusun rancangan undang-undangnya. RUU ini akan menjadi inisiatif
pemerintah. Tapi sepertinya, pihak DPR pun tidak mencoba mendorong pemerintah
untuk segara menyelesaikan rancangannya. Atau memang ini sesuatu yang di
sengaja?
Kedua, masalah kemauan politik untuk membahas
dan menghasilkan rancangan undang-undang yang mendukung pemberantasan korupsi.
Agaknya ini menjadi masalah serius. Akhir-akhir ini banyak anggota DPR masuk
pemeriksaan KPK. Beberapa bahkan sudah masuk dalam tahanan. Tentu saja kiprah
ini bisa dianggap masalah oleh beberapa anggota DPR. Indikasinya sudah lama
muncul wacana pembubaran KPK oleh DPR. Kalau ini dicermati dengan melihat
berbagai fakta perkara korupsi yang melibatkan anggota DPR. Wacana pembubaran
KPK ini sulit dilepaskan dari adanya kecemasan anggota DPR melihat penindakan
yang sudah merambah wilayah DPR. Kondisi ini yang memperlemah kemauan politik
DPR untuk menyelesaikan pekerjaan legislasinya di bidang anti korupsi dengan
baik. Hal ini juga akan sangat mempengaruhi substansi undang-undang yang akan
dibuat. Akibatnya akan muncul undang-undang di bidang korupsi yang secara
substansi mengancam upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
Kekuatan publik (antara lain media,
masyarakat, aktivis antikorupsi) harus segera dibangun. DPR harus didorong
untuk segera melakukan pembahasan paket undang-undang anti korupsi yang sudah
direncanakan dalam Prolegnas. Setidaknya undang-undang tentang pengadilan
korupsi.
Tak hanya itu, agenda berikutnya adalah
pemantauan secara ketat terhadap pembahasan undang-undang. Ini untuk mencegah
tarik ulur kepentingan politik yang tidak memihak pada kepentingan publik dalam
rangka pemberantasan korupsi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Melihat dari
uraian di atas, tidak dapat kita pungkiri korupsi memang benar-benar telah
menjadi sebuah masalah yang cukup berat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melihat dari hal-hal yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengaruh dan upaya penuntasan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Korupsi sebagai
sebuak bentuk konsepsi mengalami pemaknaan yang beragam. Mulai pemaknaan yang
bersifat etimologis, terminologis, sampai levelisasi korupsi. Sebagai sebuah
penyimpangan, korupsi tidak hanya berlangsung pada ranah kekuasaan untuk
mencari keuntungan materi juga dalam bentuk penyimpangan kepercayaan yang
ada pada setiap orang. Korupsi bukan hanya milik pemerintah, tapi juga sektor
swasta bahkan lembaga pendidikan. Korupsi tidak hanya berlangsung pada level
struktural, tapi juga cultural.
Sebuah Negara akan maju dan berkembang apabila
didukung dengan pemerintahan yang adil dan bersih dari unsur-unsur korupsi. Sikap korup para pejabat dan elit politik
merupakan penyebab timbulnya masalah kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dibutuhkan sebuah sikap yang tegas dan
profesional untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
4.2 Saran
Seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap terpidana korupsi. Undang-undang
yang adapun dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Agar korupsi tidak lagi
menjadi budaya di negara ini.
Daftar Pustaka
-
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi,
Jakarta,PT Raja Grafindo Persada.
-
Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di
Indonesia, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada.
-
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi Masyarakat Terhadap KPK
dan Korupsi Tahun 2008.
keren kakak, sangat bermanfaat bagi yang membutuhkan referensi untuk makalah
BalasHapusjangan lupa berkunjung juga ya :
https://diyusjay.blogspot.co.id/2017/10/maju-diam-atau-mundur.html
sebagai referensi untuk makalah juga