BAB I
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki
karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 931
etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil. Etnis besar
di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau,
Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai Negara yang multietnis, tidak hanya
bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan,
makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
Indonesia
ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Akan tetapi,
jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah. John
Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic
consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua
dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan terhadap dominasi negara
ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa telah melayang dan
banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington juga
memprediksikan munculnya perbenturan antar masyarakat “di masa depan” yang akan
banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen
ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen
agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan
terhadap agama dan kebudayaan.
Salah
satu konflik yang berbau sara di Indonesia adalah konflik yang terjadi di
Maluku Utara, konflik ini pertama kali terjadi bulan Agustus 1999 yang di picu
oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli daerah tersebut dengan
suku Makian yang merupakan pendatang dari pulau Makian di daerah selatan pulau
Ternate berkaitan dengan pegelolaan pertambangan emas di kecamatan Malifut.
Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa hanya dalam hitungan puluhan,
demikian juga harta benda dan rusaknya tempat-tempat ibadah.
Konflik
terus berlanjut pada bulan Oktober-November 1999. Skala kerugian harta milik
yang berkenaan dengan fasilitas-fasilitas publik dan bangunan jauh melebihi
kerugian yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Pada konflik ini kurang lebih 16
Desa Suku Makian diratakan dengan tanah, sementara jumlah korban yang meninggal
kurang 100 orang dan kebanyakan dari komunitas islam.
Dalam
aksi kekerasan kedua ini, ketiga Sultan yang memerintah di Maluku Utara, yakni
Sultan Ternate, Sultan Tidore, dan Sultan Bacan telah mengambil peran aktif
dalam meredakan keteganggan-keteganggan antara dua komunitas yang berperang.
Sultan Ternate bahkan mengambil langkah kontroversial dengan membentuk kembali
pasukan adat. Pasukan ini disebut pasukan kuning, karena mereka memakai seragam
kuning, maka pasukan khusus Sultan Ternate ini dikenal sebagai pasukan kuning.
Pada mulanya, pasukan kuning membantu, polisi dan tentara untuk meredakan
konflik di wilayah tersebut. Namun seiring berlalunya waktu, mereka secara
berlahan-lahan mulai mengambil alih fungsi aparat keamanan sampai pada titik
dimana mereka merupakan satu-satunya kekuatan keamanan di kota tersebut.
Mereka
mulai bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap setiap orang yang
menghalangi caranya. Tindakan sewenang-wenang dari pasukan Kuning tersebut
mendapat reaksi keras dari orang-orang Muslim dari Ternate Selatan. Mereka
kemudian membentuk Pasukan Putih untuk melawan Pasukan Kuning. Pada akhirnya
pertempuran antar kedua pasukan yang sama-sama beragama islam inipun tidak
dapat dielakkan.
Konflik
di Maluku Utara terjadi lagi pada tanggal 26 Desember hingga bulan Maret 2000.
pada Periode ini konflik yang terjadi di wilayah Maluku Utara hanya merupakan
imbas dari apa yang telah terjadi di Maluku Tengah. Dalam kekerasan gelombang
ketiga ini serangan-serangan dilakukan secara simultan oleh kelompok Kristen
terhadap desa Muslim di Gahoku, Toguliwa, Gurua, Kampung Baru, Gamsungi, Lauri,
dan Popilo yang berada di Kecamatan Tobelo, serta desa Mamuya di kecamatan
Galela. Berdasarkan data yang ada, dalam kerusuhan ini korban yang meninggal
tercatat kurang lebih 800 orang, dimana 200 orang diantaranya meninggal karena
terbakar hidup-hidup di Masjid Baiturrachman di Desa Popilo.
Konflik
terjadi pula pada tanggal 19 juni 2000 di Desa Duma Kecamatan Galela. Pada konflik
ini terjadi serangan dari mereka yang mengatasnamakan komunitas Islam terhadap
masyarakat di Desa Duma yang mayoritas beragama Kristen. Dalam pertikaian yang
tidak seimbang ini setidaknya 215 orang meninggal dan kurang lebih 500 orang
dinyatakan hilang bersamaan dengan tenggelamnya kapal Nusa Bahari yang membawa
masyarakat Desa Duma untuk mengungsi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas,
permasalahan yang akan dilihat dalam makalah ini adalah :
a.
Apa sebenarnya sumber-sumber konflik yang memicu
terjadinya konflik di Maluku Utara antara tahun 1999-2004.
b.
Mengapa konflik bisa terjadi di Maluku Utara (1999-2004).
Kerangka Pemikiran
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang
beranekawarna, Koentjaraningrat melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi,
ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat
beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di
Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang
penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah
dari masing-masing suku-bangsa.
Ikatan
primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para
anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul. Identitas dasar ini merupakan sumber
acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi
sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat
mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu
kelompok etnik.
Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah
untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar
kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok
etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka.
Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik
yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan
primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau
hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau
keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah,
dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang
kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat
destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geertz dapat dianggap sebagai “warisan” dari
sifat sosial yang telah ada suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan
sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan
warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama
tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti
praktik-praktik sosial tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok
etnik seringkali dimanipulasi.Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan,
dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang
masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam
rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran
identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang membobol
bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada
keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam
bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat
atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti akar persoalan sumber
konflik di Maluku Utara seperti halnya yang terjadi di Maluku Tengah, tidaklah
tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta
pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus ”konflik
agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat baik dalam konteks
nasional maupun dalam konteks lokal. Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua
faktor penting yang mendasari konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas
elite dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan
birokrasi serta politik, (2) Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk
merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.
Untuk melihat sumber konflik yang terjadi di Maluku Utara
(1999-2004) penulis melihat dari tiga gelombang pertikaian yang di Jelaskan
oleh Tamrin Amal Tamagola. Tamagola. membagi
konflik di Maluku Utara dalam tiga gelombang pertikaian yang di mulai yang di
mulai pada bulan Agustus 1999 dan berakhir di sekitar bulan Maret 2000.
Gelombang pertama dan kedua terjadi atau berawal dari kecamatan Malifut di
teluk Koa, yang kemudian menyebar ke Ternate, Tidore, dan wilayah lain di
Maluku Utara. Gelombang ketiga kerusuhan kembali ke desa-desa Muslim di
Kecamatan Tobelo yang berada di Teluk Kao. Tetapi setelah itu masih terjadi
berbagai penyerbuan ke wilayah-wilayah Kristen dengan korban dan kerugian yang
cukup besar, bahkan sempat meluluh lantakan desa Duma di kecamatan Galela,
Halmahera Utara yang menjadi simbol perkembangan agama Kristen di wilayah ini.
Karena kejadian ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketiga gelombang
sebelumnya, maka penyerangan ke Duma ini diusulkan sebagai gelombang atau
periode konflik yang ke empat.
A. Gelombang Pertikaian di Maluku Utara
A.1. Gelombang Pertama
Banyak pihak yang menyakini konflik di
Maluku Utara merupakan imbas dari konflik di Maluku Tengah (Ambon dan
sekitarnya) yang sudah terjadi sejak pertengahan Januari 1999, awal konflik di
Maluku Utara memiliki nuansa yang sangat berbeda. Konfik yang muncul di Teluk Kao,
Halmahera Utara ini lebih menunjukkan nuansa persaingan etnis dan perebutan wilayah
adat daripada perseteruan agama. Ketegangan di kawasan ini memuncak ketika pada
tanggal 26 Mei 1999 diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 42 tahun 1999
tentang pembentukan kecamatan Makian atau malifut : 16 desa pendatang suku
Makian digabung dengan 5 desa asli suku Kao dan desa asli suku Jailolo.
Dari
sudut pandang masyarakat Kao, pembentukan kecamatan Makian malifut yang
ditetapkan dengan PP no. 42 itu sebagai pencaplokan tuan tanah adat
mereka.Wilayah Malifut adalah bagian dari tanah adat suku Kao yang dipinjamkan
sementara kepada warga Makian yang mengungsi karena kekhawatiran meletusnya
Gunung Kie Besi di Pulau Makian. Sementara itu warga Makian yang dipindahkan ke
wilayah yang bernama Malifut ini merasa sebagai tugas atau keputusan dari Pemerintahdan
merasa berhak atas tanah yang mereka alami. Benih pertentangan ini juga
ditambah dengan kecemburuan orang Kao yang melihat orang-orang makian lebih
berhasil dalam penghidupan mereka baik sebagai wiraswasta, pegawai negeri dan
pengisi jabatan birokrasi, hingga menjadi pegawai perusahaan Tambang Emas Nusa
Halmahera Minerals.
Orang
Makian bahkan terlihat secara sistematis mempersiapkan kawasan Malifut ini
sebagai basis kediaman kedua mereka dengan memberi nama sebagai daerah Makian
Daratan. Keadaan akan lebih menjadi parah ketika pembentukan kecamatan Malifut
itu juga meliputi 5 desa dari kecamatan Kao dan 6 desa dari kecamatan Jailolo.
Suatu pencaplokan ganda yang tentunya sangat sulit diterima oleh masyarakat
Kao. Sementara bagi orang Makian keluarnya PP no. 42 itu merupakan peraturan
yang harus dijalankan. Mereka meminta pemerintah untuk segera melaksanakan PP
no 42 itu dengan berbagai aksi baik di Malifut maupun di Ternate yang saat itu
menjadi ibukota Kabupaten Maluku Utara.
Ketegangan
makin memuncak pada bulan Agustus 1999, dan kerusuhan meletus pada tanggal 18
Agustus yang mengakibatkan sebuah rumah terbakar. Bahkan sehari kemudian
terjadi penyerangan antara warga desa Sosol (Kao) dengan warga desa Tahane
(Makian) dan merembet ke desa Wangeotak. Akibat kerusuhan ini warga lima desa
suku Kao yang dimasukkan ke wilayah kecamatan Malifut mengungsi ke Kao. Berita
yang dibawa oleh warga kelima desa ini membuat marah suku Kao, sehingga mereka
(yang Kristen maupun Islam) menyerang desa-desa orang Makian di Malifut pada
tanggal 21 dan 25 Agustus 1999. Penyerangan ini menyebabkan sekitar 2000 warga
Makian di Malifut mengungsi ke berbagai wilayah.
Dalam kerusuhan ini setidaknya 26 orang
tewas dan ratusan terluka. Sebanyak 16 desa mengalami kerusakan : lebih dari
800 rumah hancur, termasuk fasilitas umum, seperti terminal, kantor kecamatan,
dan pasar. Bangunan sekolah yang hancur sebanyak 81 unit. Sedangkan rumah
ibadah yang rusak ada ada 17 mesjid dan sebuah gereja. Meskipun ada informasi
bahwa sebenarnya tidak ada mesjid yang rusak, melainkan atap bangunan ibadah
itu di ambil oleh pengungsi yang kembali setelah kerusuhan reda dan membutuhkan
sarana untuk tinggal sementara.
A.2. Gelombang Kedua
Gelombang Kedua masih terjadi di atau
diawali dari Malifut Pada tanggal 24 Oktober terjadi penyerangan besar-besaran
warga Kao terhadap warga Makian Malifut dengan kekuatan masa sekitar
15.000-20.000 orang. Akibatnya kerusuhan ini 14 orang meninggal dunia dan 206
orang luka-luka. Mesjid terbakar/rusak ada 19, sedangkan rumah yang
terbakar/rusak mencapai 1862 rumah, ditambah dengan 2 sarana pendidikan, 2
perkantoran, dan 1 Puskesmas. Pada saat itu juga terjadi pengungsian
besar-besaran 12.307 jiwa warga Makian yang mayoritas Islam. Pada gelombang
kedua ini nuansa agama mulai tampak. Terutama yang diakibatkan oleh faktor
pengungsi.
Pengungsian
terjadi ke Ternate Utara maupun Selatan, Tidore, kecamatan-kecamatan mayoritas
islam di Halmahera Utara sendiri, dan sebagian pengungsi ini kemudian ada yang
melakukan penyerangan dan perusakan ke warga minoritas Kristen di daerah
pengungsian mereka. Menurut catatan dari Dit Sospol Pemprop Maluku Utini ara
korban aksi penyerangan ini mencapai jumlah sekitar 100 orang meninggal dan 20
gereja rusak atau terbakar. Aksi kekerasan ini juga mengakibatkan pengungsian
besar-besaran ke kecamatan Tobelo dan ke Sulawesi Utara, Menado dan Sangir
Talaud. Pengungsian warga Kristen ini mencapai belasan ribu jiwa.
Pada konflik gelombang kedua ini mulai
tampak jelas perubahan nuansa konflik dari pertikaian etnis, antara etnis Kao
dan Makian, ke arah pertikaian agama : Islam dan Kristen. Perubahan ini makin
mengental ketika terjadi pengungsian besar-besaran orang Makian ke Ternate dan
Tidore. Pengungsi Makian yang sepenuhnya beragama Islam merasa terusir oleh
orang Kao yang di identifikasikan sebagai orang-orang Kristen. Hal ini masih di
tambah dengan pertemuan mereka dengan pengungsi-pengungsi dari ambon yang
membawa kisah dan penderitaan yang hampir sama.
Pada awal November 1999, terjadi
peristiwa kerusuhan di desa Indonesiana, Pulau Tidore. Peristiwa yang di picu
oleh selebaran bertajuk “Rencana Serangan Balik Sosol Berdarah” yang
seakan-akan dikeluarkan oleh Ketua Sinode Maluku di Ambon dan ditujukkan kepada
Ketua Sinode Halmahera di Tobelo. Pihak Gereja Protestan telah membanta bahwa
selebaran itu berasal dari pihak mereka, sehingga patut diduga bahwa ada yang
sengaja mengungkap selebaran itu sebagai alasan untuk menyerang pihak Kristen.
Hal ini diperkuat dengan pemadaman listrik dan adanya orang-orang yang tidak di
kenal pada peristiwa yang berlangsung dalam waktu sangat singkat, sekitar dua
jam, ini.
Pada peristiwa ini terjadi
pembakaran gereja dan pembunuhan pendeta Ari Rissakota, dengan korban meninggal
dunia mencapai 35 orang. Gereja yang terbakar 3 buah dan rumah yang terbakar
mencapai 145 buah, dengan pengungsi mencapai lebih dari 1300 orang. Warga Kristen
dari Tidore ini cenderung mengungsi ke Menado Sulawesi Utara. Sebelum peristiwa
terjadi insiden serupa di Ternate, tetapi tidak sampai menimbulkan korban
karena kesigapan aparat dan Sultan Ternate.
A.3.
Gelombang Ketiga
Pertikaian atau konflik gelombang
ketiga betul-betul menunjukkan nuansa agama yang sangat kental, karena terjadi
di Kecamatan Tobelo dan Galela yang terletak dan dihuni oleh mayoritas suku
Kao. Hal ini tentu sangat berbeda dengan awal konflik gelombang pertama antara
warga suku Makian dan suku Kao. Pada konflik gelombang ketiga ini yang terjadi
adalah penyerangan antar desa yang berbeda agama. Keadaan menjadi parah karena
di kecamatan Galela yang mayoritas Islam ada desa yang di huni warga Kristen,
sementara di Tobelo yang mayoritas Kristen (apalagi setelah mendapat tambahan
pengungsi dari Ternate dan Tidore) ada desa – desa yang dihuni warga Islam.
Kondisi ini menjadikan warga desa yang agamanya menjadi minoritas di suatu
kecamatan, berada dalam kondisi yang sangat rawan dan terjepit.
Gelombang ketiga diawali di Tibelo
ketika warga Kristen memperoleh tambahan masa dari para pengungsi dari Ternate
sehingga mencapai jumlah sekitar 3000 jiwa. Dengan konsentrasi jumlah ini warga
Kristen bisa mengungguli warga Islam yang berjumlah sekitar 20 ribu jiwa.
Serangan kelompok Kristen ke kelompok Islam di desa-desa : Gamhoku, Toguliwa,
Kampung Baru, Gamsugi, Gurau, Popilo, dan Lauri terjadi pada tanggal 26
Desember 1999. Peristiwa ini bengitu dahsyat dan konon menimbulkan korban jiwa
sebanyak 880 orang. Akibat dari kerusuhan ini hampir seluruh warga islam yang
tersisa mengungsi ke Ternate, Tidore, dan kawasan lain yang mayoritas
berpenduduk islam.
Kerusuhan besar juga terjadi di Galela
pada tanggal 27 Desember 1999 dengan korban di kedua belah pihak. Korban
meninggal mencapai 197 jiwa, dengan gereja yang rusak atau terbakar sebanyak 8
buah dan masjid sebanyak 16 buah. Rumah yang terbakar mencapai 1425 orang dan
pengungsi mendekati jumlah 20.000 orang. Kerusuhan berlangsung hingga awal
Maret 2000 dengan tambahan korban jiwa mendekati 40 orang.
Di
samping peristiwa di Tobelo dan Galela tadi, terjadi pula pertikaian dan
kerusuhan yang merata di Halmahera Utara dengan peristiwa-peristiwa dan
kejadian-kejadian sebagai berikut :
· Kecamatan
Jailolo mayoritas penduduknya Islam 25800 orang, Prostestan 15.600 orang, dan
Katolik 648 orang. Pada tanggal 31 Desember 1999 hingga Januari 2000, di
kecamatan Jailolo ini terjadi pertikaian yang cukup meluas antara kelompok
Islam dan kelompok Kristen yang menimbulkan korban meninggal sebanyak 163
orang. Gereja rusak/terbakar sebanyak 31 buah, sedangkan mesjid yang rusak atau
terbakar ada 16 buah. Rumah yang rusak dan terbakar lebih dari 3500 buah dengan
pengungsi sebanyak lebih dari 23000 orang.
· Di kecamatan
Sahu yang penduduknya hampir berimbang antara Islam dan Kristen : Islam 6000
orang, Protestan 7900 orang, dan Katolik 142 orang, terjadi kerusuhan pada
tanggal 2-4 Januari 2000. Korban meninggal dunia 18 orang, mesjid
rusak/terbakar 19 buah, sarana pendidikan 15 buah. Rumah yang rusak dan
terbakar mendekati 1600 buah, dengan pengungsi sebnayak lebih dari 6000 orang.
· Di kecamatan
Ibu yang mayoritas Kristen, 5200 orang islam dan 17000 orang Kristen, terjadi
pertikaian pada tanggal 2-3 Januari 2000 dengan korban 6 orang meninggal dunia,
mesjid rusak/terbakar 8 buah dan sarana pendidikan 8 buah. Rumah yang rusak
atau terbakar mendekati 1000 buah dengan pengungsi mencapai 5500 orang.
· Di kecamatan
Gane Barat yang mayoritas Islam, 20000 orang Islam dan 1900 orang Kristen,
terjadi kerusuhan yang mengakibatkan kerugian sebagai berikut : meninggal 22 orang,
gereja rusak/terbakar 5 buah, dan rumah rusak/terbakar 224 buah. Peristiwa ini
dicatat sebagai terjadi pada tanggal 11 Nopember 1999 hingga Januari 2000,
tetapi data tentang waktu ini tampak kurang akurat. Kalau dibandingkan dengan
kronologi di wilayah lain, tampaknya peristiwa ini terjadi di akhir Desember
hingga awal Januari. Kerusuhan kembali terjadi di akhir Januari 2000, tepatnya
tanggal 28, dengan korban 14 orang meninggal, 10 buah gereja rusak/terbakar,
dan 281 rumah rusak/terbakar. Dalam peristiwa di kecamatan ini
tercatat pengungsi lebih dari 1600 orang.
· Di kecamatan
Bacan yang mayoritas Islam, lebih dari 55000 penduduk Islam dengan 10000
penduduk Protestan dan 1000 penduduk Katolik, terjadi kerusuhan pada tanggal 24
Januari 2000 dengan kerugian : 46 orang meninggal, 11 gereja rusak/terbakar. Rumah yang
rusak atau terbakar sebanyak 31 buah dan pengungsi sebanyak 3118 orang. Pada
tanggal 22-25 Februari 2000 terjadi lagi kerusuhan di Desa Tawa yang
mengakibatkan 4 orang meninggal dan pengungsi sebanyak 1100 orang.
· Di kecamatan
Gane Timur yang juga mayoritas Islam, sekitar 17000 penduduk Islam dan 5000
penduduk Kristen, terjadi kerusuahan pada tanggal 25 Januari 2000 dengan korban
36 orang meninggal, 7 mesjid dan 6 gereja rusak/terbakar. Rumah yang terbakar
mendekati 1000 buah dengan pengungsi lebih dari 300 orang. Pada tanggal 23
Februari 2000 terjadi lagi penyerangan kelompok Islam ke kelompok Kristen di
desa Mafa dan lalubi yang mengakibatkan 6 orang meninggal, 1 gereja dan 176
rumah rusak/terbakar, dan pengungsi 929 orang. Pada tanggal 9 dan 10 Maret 2000
terjadi lagi penyerangan ke desa Matuting, Sakita I Batonam, dan Akelamo/Fida,
mengakibatkan korban jiwa 35 orang, 2 buah gereja dan 56 rumah rusak/terbakar.
· Di kecamatan
Obi yang juga mayoritas Islam terjadi kerusuhan dengan pola yang hampir sama
dengan di Bacan dan Gane Timur. Sementara di kecamatan Loloda yang mayoritas
Kristen, terjadi penyerangan terhadap kelompok Islam yang mengakibatkan 37
orang meninggal, 8 mesjid dan hampir 800 rumah rusak/terbakar, menyebabkan
pengungsian lebih dari 4500 warga.
· Di Morotai
penduduk Islam dan Kristen hampir seimbang. Di Morotai Selatan lebih banyak
Islam, sedangkan di Utara lebih banyak yang Kristen. Kerusuhan di Kedua daerah
kecamatan ini terjadi pada bulan Februari hingga Maret 2000 dengan korban jiwa
8 orang di Morotai Selatan dan 13 orang di Morotai Utara. Jumlah rumah yang
rusak/terbakar, sekitar 500 buah di Morotai Selatan dan 300 rumah di Morotai
Utara. Dialporkan 4 gereja rusak/terbakar di Morotai Selatan dan 3 Gereja
rusak/terbakar. Pengungsi berjumlah sekitar 2100 orang di Morotai Selatan dan
lebih dari 600 orang di Morotai Utara.
A.4. Gelombang Keempat
Setelah terjadi
pertikaian gelombang ketiga disimbolisasi dengan penghancuran desa Popilo di
Kecamatan Tobelo (sebuah desa Islam di kecamatan yang mayoritas Kristen), warga
Islam tampak mengkonsilidasi serangan balasan. Niat ini terpenuhi ketika mereka
berhasil menyerang desa Kristen Duma yang berada di kecamatan Galela yang
mayoritas penduduknya Islam. Penyerangan ke desa Duma ini menjadi lebih berarti
karena desa ini dianggap merupakan awal dan simbol kristenisasi di kawasan ini.
Berdasarkan catatan dari pihak Kristen,
laporan radio Hiversum telah terjadi serangan pihak Islam ke desa-desa Kristen
di Galela. Serangan ini terjadi secara beruntun dalam beberapa bulan ini
mencapai puncaknya pada tanggal 19 Juni 2000 ke desa Duma yang mayoritas
Kristen dan menampung beberapa pengungsi warga Kristen dari desa-desa Makate,
Ngidiho, dan Dokulama. Peristiwa ini memakan korban yang cukup besar dan
pengungsian warga Kristen ke Menado. Tidak ada catatan dari pihak Pemda, tetapi
dilaporkan sekitar 200 orang menjadi korban dan 150 orang anak menjadi yatim
piatu. Ini belum termasuk 200 orang pengungsi yang tenggelam bersama kapal Nusa
Bahari.
Dalam peristiwa Duma ini pihak Kristen merasa
bahwa aparat bersenjata tidak secara bersungguh-sungguh melindungi mereka.
Bahkan ada kecurigaan keterlibatan aparat dalam penyerangan dengan melihat
besarnya korban yang tewas karena peluru standard ABRI. Pihak aparat sendiri
beralasan pada keterbatasan personil dan timbulnya banyak korban karena situasi
yang kacau dan tidak menentu.
B. Sumber-Sumber Konflik di Maluku
Utara
B.1. Perseteruan antara Ternate dan
Tidore
Kesultanan di Maluku Utara semula
terdiri dari 4 kesultanan besar yang bersaudara, yaitu : Ternate, Tidore,
Jailolo, dan Bacan. Di samping itu tercatat pula kesultanan Moti dan Makian,
yang konon menjadi cikal bakal kesultanan Jailolo dan Baca. Melihat awal
keempat kerajaan yang semula berkedudukan di pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti,
dan Makian, keempat kesultanan yang berbasis kekuatan kelautan. Sementara di
Halmahera terdapat kesultanan Moro dan Loloda yang berbasis pada pertanian.
Keberadaan dan persaingan keempat
kesultanan itu (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) bersamaan dengan
kedatangan keempat negara atau bangsa barat yang berniat menancapkan
kekuasaannya di bumi Maluku dan sekitarnya. Keempat bangsa itu adalah :
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Dalam sejarahnya yang panjang sejak
abad 15, pertemenan dan perseteruan antara keempat kesultanan dan empat bangsa
barat itu merupakan kisah yang menarik. Pertukaran mitra dan perubahan musuh
bukan hal yang jarang terjadi. Hal ini sesaat telah menimbulkan kebigunggan
bagi keempat bangsa barat yang berhubungan dengan mereka. Tetapi akhirnya
menjadi alat yang sangat ampuh untuk meruntuhkan kedigdayaan keempat kesultanan
tadi.
Di antara keempat kesultanan ini hanya
dua kesultanan yang menunjukkan eksistensi yang cukup kuat, yaitu : kesultanan
Ternate dan Tidore. Posisi dan keberhasilan kesultanan Ternate untuk menjadi
yang paling kuat, tidak terlepas dari keberhasilan sultan Ternate dalam
mendekati pemerintah kolonial Belanda, di samping latar belakang kesejarahannya
yang paling kuat. Sementara itu Tidore sempat dipimpin oleh Sultan Nuku,
pemimpin rakyat yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Tidore.
Setelah Nuku menguasai Seram dan Bacan,
pada pertengahan April 1797 Nuku berkerjasama dengan armada Inggris mulai
mengepung Tidore. Pada waktu itu Sultan Tidore Kamaludin telah melarikan diri
ke Ternate untuk meminta bentuan Belanda. Anehnya rakyat dan pembesar Tidore
tidak ada yang memberikan perlawanan membela Sultan Kamaludin, bahkan
mengangkat Nuku menjadi Sultan Tidore.
Sepeninggal Inggris Ternate yang tetap
bermitra dengan Belanda harus berhadapan dengan Tidore yang ingin tetap
merdeka. Sayang perjuangan Tidore ini terpaksa melemah sesudah wafatnya Nuku. Sebagai mitra
Belanda, kesultanan Ternate menjadi satu-satunya kekuatan yang menonjol di
Maluku. Kesultanan Ternate juga mendapat berbagai kemudahan dan prioritas
pembangunan, khususnya untuk kawasan pulau Ternate sendiri.
Di masa sesudah kemerdekaan terjadi
kemunduran posisi Kesultanan Teranate. Posisi Maluku Utara yang hanya setingkat
Kabupaten dan kota Ternate sebagai kota kecamatan (hingga tahun 1982) merupakan
kemunduran bagi eksistensi Kesultanan Ternate.
Di awal konflik, kesultanan yang eksis
tinggalah kesultanan Ternate. Ternyata konflik di kawasan ini telah mengubah
perimbangan kekuasaan di Maluku Utara. Kondisi ini juga seakan membangunkan
kesultanan Tidore yang sempat tidur pulas sesudah kejayaannya di abad 16-17,
dan bangkitnya kembali kesultanan Bacan dan Jailolo. Dua kesultanan yang
namanya nyaris tak terdengar dibalik hingar-bingar perseteruan antara
kesultanan Ternate dan Tidore.
Hal ini dapat di lihat ketika adanya
usulan pembentukan Propinsi Maluku Utara, Sultan Ternate ternyata telah bergabung
dengan Golkar untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur di propinsi baru
tersebut. Namun niat Mudafar Syah tersebut kandas ternyata calon yang kemudian
di usung Golkar adalah adalah Abdul Gafur. Kegagalan Sultan Ternate tersebut
untuk mendapatkan posisi calon gurbenur dari partai Golkar membuat beliau
beralih partai ke Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan untuk mendapat kursi di
legeslatif.
Keberhasilan Sultan Ternate dalam
menduduki kursi anggota DPR-RI ternyata diiringi juga oleh keberhasilan sang permaisuri
menduduki anggota DPD. Hal ini memicu kebangkitan kesultanan Tidore yang
ditandai dengan keberhasilan Sultan Tidore sebagai anggota DPD.
Kemunculan Sultan Tidore ternyata juga
ikut memicu kedua kesultanan besar lainnya yaitu kesultanan Bacan dan Jailolo.
Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan Sultan Bacan menjadi Bupati Halmahera
Selatan 2003-2008. Sedangkan Sultan Jailolo pada akhirnya mendapatkan jatah
kursi di DPRD Halmahera Barat.
B.2. Ketegangan Masalah Agama
Banyak pihak yang memperkirakan bahwa
kebijakan migrasi masyarakat Makian ke Kao adalah dalam rangka mengimbangi atau
sebagai reaksi atas misi zending (Kristenisasi) yang tampaknya semakin meluas
di wilayah Halmahera, sedangkan isu gunung berapi hanyalah isu saja. Hal ini
berdasarkan alasan bahwa semua penduduk makian memeluk agama Islam. Alasan yang
lain adalah mengapa yang di pilih Kecamatan Kao yang letaknya sangat jauh dari
Pulau Makian karena masih banyak lahan di Halmahera Tengah dan beberapa pulau
lain yang masih bisa ditempati.
Sebagian besar pemeluk agama Kristen
menempati Halmahera Utara, dengan batas wilayah bagian selatan pemeluk agama
Kristen terbesar berada di kecamatan Kao, hal ini menyebabkan Kecamatan Kao
tempat yang strategis dalam penyebaran misionaris ke Halmahera Selatan.
B.3. Perebutan Sumber Daya Alam
Salah satu kekayan alam di Maluku Utara
adalah pertambangan seperti emas dan nikel. Aktivitas pertambangan emas banyak
dilakukan di wilayah sekitar perbatasan antara Kabupaten Halmahera Utara dengan
Halmahera Barat, dan Kecamatan Malifut. Salah satu perusahaan tambang yang
melakukan eksplorasi pertambangan adalah PT Nusa Halmahera Mineral (NHM).
Perusahaan ini mengeksploitasi emas di daerah Gosowong sejak tahun 1997.
Seiring berjalannya waktu, ternyata NHM
ini dianggap merugikan masyarakat sekitarnya, karena terjadinya konflik yang
melibatkan 250 tenaga kerja beragama Islam dan Kristen di pertambangan PT. NHM
di Gosowong, Kecamatan Kao diberhentikan sejak Oktober 1999. Hal ini terlihat
bahwa PT NHM tidak mau mengambil resiko terhadap dampak yang akan ditimbulkan
dari konflik kedua belah pihak tersebut. PT NHM mengambil langkah untuk
menganti pekerja-pekerja lokal dengan para pekerja di luar daerah, seperti :
Ternate, Manado, Makasar dan Jawa.
C. Sumber Utama Konflik di Maluku Utara
(1999-2004)
Geertz
berpendapat bahwa identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah
untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar
kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok
etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka.
Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik
yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan sumber adanya ikatan
primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau
hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau
keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah,
dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional yang
kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat
destruksif.
Bedasarkan
pendapat greetz, saya melihat dari empat gelombang konflik yang terjadi di
Maluku Utara terlihat pergeseran dari konflik antara suku (antara Suku Kao yang
mayoritas beragama Kristen dan suku Makian yang semuanya beragama Islam ) ke
konflik agama yaitu konflik antara kelompok Islam melawan kelompok Kristen.
Menurut saya sumber utama konflik di Maluku Utara bukan karena masalah agama,
karena sumber utamanya adalah persaingan kelompok dalam memperebutan kekuasaan
di Maluku Utara (Perseteruan antara Ternate dan Tidore). Maka untuk melihat
sumber utama dari konflik di Maluku Utara (1999-2000) dapat di lihat dari
aktor-aktor yang terlibat konflik.
Dengan adanya
UU No. 22/1999 yang mengurangi dominasi pemerintah pusat dalam pemerintahan di
daerah, hal ini membuat kelompok pemerintah daerah cenderung untuk memusatkan
perhatiannya untuk memperoleh hegomoni dalam pemerintahan. Persaingan antara
kelompok birokrat Ternate dan non Ternate (Tidore, Makian) menjadi semakin
runcing dengan adanya pemekaran wilayah.
Beberapa
birokrat Tidore melakukan kerjasama dengan suku Makian bertujuan untuk
mengimbangi dominasi kelompok Ternate di pemerintahan. Seperti persaingan kedua
kelompok ini dalam pemilihan gurbernur dan penetapan ibu kota propinsi Maluku
Utara.
Berdasarkan
sejarah persaingan antara Ternate dengan non Ternate di daerah Maluku Utara
bisa di bagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok orang Ternate dan pengikutnya
dan kelompok lainnya adalah kelompok bukan pengikut Ternate (Tidore, Makian,
Bacan, dan lainnya). Rivalitas yang paling mencolok ada dalam perebutan kursi
birokrat, apalagi setelah Maluku Utara menjadi propinsi tersendiri. Pada
awalnya ada dua buah kubu dalam pemerintahan daerah yaitu ’kubu Selatan’ yang
dimotori oleh orang-orang anti kesultanan Ternate dan ’kubu Sultan’.
Tokoh-tokoh dari kubu Selatan adalah Sekwilda
Maluku Utara I Taib Armayn, Walikota Ternate Syamsir Andili, Bupati Maluku Utara
Asegaf, Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili. Selanjutnya kelompok ini mendapat
dukungan dari masyarakat Islam dan mahasiswa Makian yang sedang belajar di
Universitas Khairun. Kelompok ini diduga memiliki jalur langsung dengan
pemerintahan pusat, hal ini dapat di lihat dengan naiknya para pemimpin Dati II
yang terdiri dari birokrat kubu Selatan.
Sedangkan kubu
’Sultan’ terdiri dari sultan Ternate Mudaffar Syah, dewan adat, masyarakat
pendatang, warga Ternate bagian Utara, masyarakat Kristen di Halmahera Utara.
Pertentangan antara kubu ’Sultan’ dan kubu ’Selatan’ mengenai perebutan kursi
gubernur Maluku Utara, pemilihan ibukota propinsi sehingga mengakibatkan
terjadinya konflik terbuka antara kubu ’Selatan’ di dukung oleh pasukan Putih
sedangkan kubu ’Sultan’ di dukung oleh pasukan Kuning.
Dalam perebutan
kursi Gubernur di propinsi Maluku Utara, Sultan Ternate sebagai seorang tokoh
Golkar pada waktu itu sangat berambisi untuk menjadi gurbernur Maluku Utara.
Namun langkahnya terhambat oleh Bahar Andili (bekas Bupati Halmahera Tengah),
dan drs. Thaib Armain (berasal dari suku Makian) yang memiliki ambisi yang
sama. Campur tangan bekas pejabat Orde Baru semakin memperkeruh kondisi, dimana
ketika dilakukan pemilihan pada tanggal 5 Juli 2001 akhirnya dimenangkan oleh
bekas Menpora Abdul Gafur. Walaupun akhirnya keputusan ini dianulir karena
adanya dugaan money politics dan Sultan Ternate harus melepaskan ambisinya
untuk menjadi gurbenur Maluku Utara. Bahar Andili juga harus melepaskan impiannya
kepada Sarundajang (Suku Morotai).
Camat Makian
(Abdullah Assegaf) bersama beberapa pejabat Makian di pemerintah daerah
berambisi untuk menjadikan Malifut sebagai ibukota calon Kabupaten Maluku Utara
berdasarkan PP No.42/99 yang berisikan penetapan batas wilayah kecamatan Kao
dan Malifut. Penduduk kecamatan Kao, khususnya 5 desa Soa Pagu yang memliki
kedekatan historis dengan orang Kao tidak mau menerima penetapan sesuai PP. Hal
ini menimbulkan keteganggan antara warga Kao dengan penduduk pendatang Makian.
Hali inilah pemicu terjadinya konflik di Maluku Utara (1999-2004), namun pada
awal konflik ini bisa di pandamkan pada Agustus 1999 oleh Sultan Ternate. Namun
dalam pelaksanaan banyak keputusan Sultan yang dinilai merugikan warga Makian.
Contohnya Sultan meminta Warga makian untuk pindah lebih dulu dari Malifut.
Maka konflik antara Suku Makian dan Kao terjadi kembali pada tanggal 24 dan 25
Oktober 1999 dan menyebabkan warga Makian harus keluar dari Malifut. Hal ini
direspon oleh Camat Malifut (Husen Koda) yang memobilisasi mahasiswa Malifut di
Universitas khairun Ternate untuk melakukan tekanan terhadap Suku Kao.
Kawasan Malifut
secara sejarah memilki kaitan dengan Sultan Ternate menjadi rebutan antara
warga Makian (dalam sejarah merupakan pendukung kubu kesultanan Tidore) dengan
warga Kao yang merupakan pendukung setia Sultan Ternate. Pejabat Makian yang
ada pada waktu itu mendominasi birokrasi pemerintahan tidak tinggal diam dan
bekerjasama dengan kelompok Tidore mereka mulai memikirkan untuk membangun
kekuatan tandingan bagi kesultanan Ternate. Apalagi dengan adanya penambangan
emas di daerah tersebut semakin menambah kompleks permasalahan.
Hal yang
menarik adalah muncul kembalinya kesultanan Jailolo dan Bacan dalam waktu
bersamaan dengan kesultanan Tidore. Berdasarkan sejarah masa lalu tidaklah
mengherankan apabila saat ini sultan Bacan memiliki kedekatan degan Sultan
Tidore sementara Sultan Jailolo lebih deket kepada kesultanan Ternate. Hal ini
dapat dilihat Sultan Jailolo yang pernah menjadi kader Golkar bersama Sultan
Ternate mengikuti jejak Sultan Ternate dengan pindah ke PDK, dan atas dukungan
Sultan Ternate, beliau menjadi anggota DPRD Halmahera Barat.
Di pihak lain,
Sultan Bacan (Gahral Syah) menduduki posisi Bupati Halmahera Selatan. Gahral
Syah merupakan bagian dari kekuatan anti kesultanan Ternate bisa dilihat
ketekia sebelum menjadi Bupati Halmahera Selatan, menduduki jabatan sebagai
Bupati Maluku Utara mengantikan Abdullah assegaf. Konflik antara Sultan Ternate
dengan Abdullah Assegaf sangat terlihat dari pendapatnya yag bersifat
profokatif dan hal ini berakibat dibakarnya kantor bupati Maluku Utara tahun
1997 oleh para pendukung Sultan Ternate.
Bupati Halmahera Tengah menyiapkan kota Sofifi
untuk dijadikan Ibu Kota propinsi Maluku Utara. Beliau juga menginginkan agar
Tidore dijadikan ibukota propinsi transisi. Sebaliknya keinginan Bahar Andili,
kubu Sultan Ternate juga menginginkan agar Ternate manjadi Ibukota transisi
propinsi Maluku Utara. Akhirnya, Ternate ditetapkan sebagai ibukota propinsi
transisi, sedangkan untuk jangka panjang kota Sofifi akan ditetapkan menjadi
ibukota propinsi. Meskipun Ternate dijadikan ibu kota transisi, tetapi di sana
masih ada Syamsir Andili yang akan merongrong keinginan pendukung Sultan
Ternate.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Sumber konflik Maluku Utara (1999-2000)
adalah adanya kebangkitan Etnosentrisme, hal ini banyak dilakukan oleh
elite-elite lokal untuk kepentingan pribadi bahkan sebagai mesin politik untuk
merebutkan posisi-posisi politik. Gejala ini misalnya terlihat dari : Pertama,
kentalnya mobilisasi massa atas nama adat yang terlihat dalam pembentukan
Pasukan Kuning (Kesultanan Ternate) dan Pasukan Putih (Kesultanan Tidore) dalam
perebutan jabatan kursi Gubernur Maluku Utara. Kedua adanya upaya untuk memunculkan
kembali kesultanan-kesultanan lama yang sudah vakum berpuluh-puluh tahun
seperti kesultanan Bacan dan Jailolo dalam proses perebutan kursi di DPRD
setempat.
Penguatan etnosentrisme sebagai alat
manipulasi dalam perebutan jabatan-jabatan politis di tingkat lokal ini
biasanya dilakukan dengan memunculkan kembali tentang kejayaan masa lalu dan
penegasan bahwa berbagai persoalan yang terjadi pada masa lalu sesungguhnya
belum selesai hingga saat ini. Berbagai persoalan tersebut antara lain : 1)
Pertentangan Ternate dan Tidore, 2) eksentasi Wilayah Adat, dan 3) Konflik
masalah agama yang sesungguhnya hanya merupakan pembentukan stereotipe guna
mempertahankan atau memperluas teritori kesultanan.
Sumber utama dari konflik yang terjadi
di Maluku Utara (1999-2004) adalah persaingan dua kubu dalam memperebutan
kekuasaan di Maluku Utara antara kubu Sultan Ternate dan kubu Selatan. Kelompok
Selatan terdiri dari suku pendatang dan pulau Tidore yang berada di Selatan
pulau Ternate. Tokoh-tokoh dari kelompok Selatan adalah Sekwilda Maluku Utara I
Taib Armayn, Walikota Ternate Syamsir Andili, Bupati Maluku Utara Asegaf,
Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili. Sedangkan kubu ’Sultan’ terdiri dari
Sultan Ternate Mudaffar Syah, dewan adat, masyarakat pendatang, warga Ternate bagian
Utara, masyarakat Kristen di Halmahera Utara.
Isu-isu yang digunakan dalam pertikaian
dua kubu ini adalah :
a.
Isu Malifut sebagai ibukota calon kabupaten Maluku Utara
b.
Isu Perebutan kursi gurbenur Maluku Utara
c.
Isu penempatan Ibu kota propinsi
d.
Isu pembentukan Kabupaten Makian Daratan (Malifut)
e.
Pembentukan Kesultanan Tidore sebagai penyeimbang
kekuatan Kesultanan Ternate.
siap kaks
BalasHapus